Selasa, 25 Desember 2012

Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)


Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)

Produk akhir dari proses akuntansi, yang paling penting, adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, manajemen, pemilik perusahaan, dan sesiapapun yang berkepentingan, bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Ironinya, dari sekian banyak pihak yang berkentingan atas produk ini, yang sungguh-sungguh memahami logika laporan keuangan tidak banyak. Dan itu bisa dimengerti karena mereka memang berasal dari kalangan yang berbeda-beda—mungkin malah lebih banyak yang dari luar akuntansi dan keuangan.
Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat laporan itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik laporan keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah saya temukan berkali-kali.
Mana mungkin. Bukankah orang-orang accounting memang dididik dan ditempa—sejak di bangku kuliah—untuk sungguh-sungguh menguasai akuntansi?
Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di kampus-kampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak sungguh-sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat.
Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar. Tetapi begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri darimana sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan. Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan “mengapa bisa demikian?”-pun tidak bisa.
Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab “karena cost-nya tinggi,” nanti terjebak sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya menunjukan angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?
3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi mengapa tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?

Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika akuntansi yang sangat sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua perusahaan. Kenyataannya, saat ditanya pegawai accounting seringkali gelagapan, akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya, minimal mereka bisa menjelaskan “mengapa bisa terjadi demikian?”.
Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan keuangan, mestinya mereka bisa memberi saran dan masukan bagi manajemen mengenai apa yang perlu (atau tak perlu) dilakukan di masa-masa yang akan datang agar masalah yang sama tidak terjadi lagi.
Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah jauh lebih baik), materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang tersedia sangat sempit, “so little time, so many things to do.”
Mata kuliah ‘Akuntansi Dasar’ (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi yang begitu banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan. Setiap pertemuan selalu digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang isinya memang semuanya bersifat teknikal. Samasekali tidak ada ruang untuk menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi (mulai dari siklus akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan).
Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja, BETUL. Bahwa bangku kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA (terutama untuk universitas non-elite, tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai kapur tulis, seperti tempat saya berkuliah dahulu).
Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU.
Tantangan utamanya—terutama bagi kita yang sudah bekerja:Bagimana caranya mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada habisnya?
Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa ‘Jurnal Akuantansi Keuangan’ (JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan diskusi sambil mengasah skill akuntansi (hard maupun soft skill) di sela-sela rutinitas sehari-hari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya bahwa keberadaan JAK pastinya masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan bisa menjadi alternative sekaligus awal yang baik.

Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan keuangan.
Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang berkepentingan bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?
Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri sebagai sesorang yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Untuk sementara lupakan status anda saat ini (sebagai pegawai accounting), anggap diri anda adalah pemilik usaha.

sumber : www.google.com/jurnal akuntansi menengah

Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi


Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi

Banyak pemula dan mahasiswa akuntansi yang masih mengalami kesulitan dalam membuat jurnal. Masih bingung untuk memutuskan akun mana yang didebit dan akun mana yang dikredit. Dari pengalaman saya menyeleksi staf di bagian yang saya pimpin, setidaknya 5 dari 10 kandidat masih mengalami kesulitan, 3 diantaranya ragu-ragu—tidak sungguh-sungguh yakin apakah jurnal yang dibuatnya benar atau salah, dan hanya 2 orang saja yang sungguh-sungguh memahami aktivitas menjurnal dengan mantap.
Saya meyakini sebagian besar orang accounting pernah berada di situasi ini. Tak jauh berbeda dengan aktivitas belajar naik sepeda, semuanya berawal dari tidak bisa, lalu mulai belajar, ragu-ragu, sering jatuh, lama-lama akan terbiasa—stang sepeda seolah-olah belok dengan sendirinya tanpa diperintah 
Tentu harus tahu teknik dasarnya terlebih dahulu. Nah untuk belajar menjurnal, tehnik akuntansi dasar seperti apa yang harus dikuasai terlebih dahulu? Pahami mekanisme akuntansi terlebih dahulu.

Mekanisme Dasar Akuntansi

Jika ada seseorang bertanya: “Berapa biaya kuliah S1-mu?” Mungkinkah anda bisa langsung memberikan jawaban (“100 juta” misalnya)? Atau  “kira-kira 150 juta”? Katakanlah anda nekad menjawab secara spontan, apakah orang yang bertanya akan percaya terhadap jawaban anda?
Jelas tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti, akurat dan bisa dipercaya perlu:
(1) mengumpulkan data pengeluaran sejak pertama kuliah hingga lulus—berupa nota, buku tabungan, bukti transfer, dan bukti pengeluaran lainnya;
(2) menganalisa dan mengelompokkan bukti-bukti pengeluaran tersebut; mana saja pengeluaran yang terkait dengan urusan kuliah;
(3) menjumlahkan pengeluaran-pengeluarang terkait dengan urusan kuliah; dan
(4) menjawab pertanyaan tersebut, Rp 50 juta misalnya.
Bandingkan. Di lain kesempatan seseorang bertanya: “Berapa pengeluaran makan siangmu bulan Agustus kemarin?” Untuk memberikan jawaban pasti, anda perlu melakukan keempat langkah di atas lagi.
Lalu bandingkan dengan pertanyaan: “Berapa keuntungan perusahaan selama tahun fiskal 2010 kemarin?” Untuk dapat memberikan jawaban yang akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan anda perlu melakukan langkah-langkah yang sama seperti menjawab kedua pertanyaan sebelumnya:
  • Langkah-1. Mengumpulkan data transaksi
  • Langkah-2. Menganalisa data transaksi
  • Langkah-3. Memilah dan mengelompokkan transaksi ke dalam akun-akun
  • Langkah-4. Membuat laporan keuangan
Langkah-langkah itu terus berulang sepanjang waktu selama perusahaan masih beroperasi.
Sama persis, bukan? Nah itulah yang disebut dengan ‘SIKLUS AKUNTANSI‘. Siklus akuntansi adalah mekanisme akuntansi paling dasar yang harus betul-betul dipahami sebelum mencoba memahami konsep-konspe akuntansi lainnya.
“Lalu, hubungannya dengan menjurnal?”, mungkin ada yang bertanya seperti itu.
Kegiatan menjurnal ada di sekitar langkah ke 2 dan ke 3 dari siklus akuntansi di atas. Artinya, sebelum menjurnal maka langkah ke-1 dan ke-2 harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa data yang benar dan pasti, mustahil mampu menghasilkan jurnal yang benar serta akurat. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan jurnal yang benar, pastikan bukti transaksinya ada, datanya jelas dan benar (bisa dipertanggungjawabkan).
sumber : www.google.com/jurnal akuntansi menengah

6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak part 3


6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak


Sikap Cerdas-5. Jangan Menyetujui Hasil Temuan Audit Tanpa Memeriksanya

Setiap pemeriksaan akan berujung pada penetapan—yang sudah pasti akan menunjukan bahwa persusahaan (Wajib Pajak) kurang membayar pajak, alias terhutang pajak. Sebelum ‘Surat Ketetapan Pajak (SKP)’ diterbitkan, pemeriksa biasanya mengeluarkan ‘Hasil Temuan Audit (HTA)’, yang isinya menunjukan perbedaan-perbedaan antara ‘apa yang telah dilaporkan (dan dibayarkan) oleh perusahaan’ dengan ‘hasil temuan selama masa pemeriksaan’—termasuk koreksi yang dilakukan oleh pemeriksa.
HTA ini bisa sementara atau sudah merupakan temuan final. Dan, Auditor akan meminta tandatangan persetujuan dari Wajib Pajak. Nah sebelum menyatakan setuju atau tidak, sebaiknya minta terlebih dahulu rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT), termasuk hasil koreksinya. Jika perlu minta dijelaskan mengenai dasar pengenaan dan perhitungan-perhitungannya. Wajib pajak perhak untuk meminta itu.
Hal penting yang perlu diketahui, pemeriksa dalam menemukan angka-angka tersebut, selalu menggunakan asumsi-asumsi. Ini yang paling penting untuk ditanyakan.
Misalnya: Perusahaan sesungguhnya melakukan ekspor barang (sehingga seharusnya tidak kena pajak penjualan), tetapi karena tidak ada ‘Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)’, lalu pemeriksa mengasumsikan itu sebagai penjualan dalam negeri, sehingga terhutang PPN. Padahal, perusahaan tidak memiliki PEB karena barang tersebut dikirimkan via kurir (DHL/FedEx/UPS/EMS/Dll), bukan karena penjualan dalam negeri! 
Jika setelah diberikan perincian dan dijelaskan wajib pajak masih ragu untuk menyetujui atau menolak hasil pemeriksaan, terutama sekali jika tehutang pajaknya cukup tinggi, wajib pajak bisa meminta waktu beberapa hari untuk mempelajari hasil temuan audit tersebut. Hal itu sangat mungkin terjadi, karena hasil temuan audit biasanya hitung-hitungannya banyak.
Pergunakan waktu selama penundaan dengan sebaik-baiknya untuk mempelajari hasil temuan audit tersebut secara mendetail. Jika perlu minta bantuan seorang konsultan (untuk mereview hasil perhitungan dan asumsi-asumsinya), cukup hanya meminta review cepat, dan rekomendasi. Tidak perlu meminta mereka untuk mewakili anda untuk menghadapi pemeriksaan selanjutnya.
Bila hasil temuan audit anda rasa sangat tinggi dan tidak masuk akal, sudah pasti berat bagi perusahaan untuk menanggungnya. Ada baiknya anda menghubungi seorang pengacara untuk memberikan pandangan mengenai aspek hukum yang mungkin akan timbul bila anda menolak hasil temuan audit tersebut.

Sikap Cerdas-6. Ambil Keputusan Yang Bijak Sekaligus Cerdas

Diatas semuanya itu, menurut saya, jangan sampai bikin stress apalagi panik—berpikirlah dengan tenang. Jika itu memang kewajiban perusahaan, saya rasa tidak ada perlunya untuk mencoba menghindarinya. Saya tahu, banyak konsultan yang suka menyarankan anda untuk melakukan penghindaran (tax avoidance), itu advise yang sangat berbahaya dan samasekali tidak produktif. Percayalah itu hanya akan menimbulkan masalah baru.
Sudah seharusnya pemeriksaan pajak disikapi dengan serius. Hanya saja, kekhawatiran (apalagi kepenaikan) sesungguhnya samasekali tidak perlu menurut saya. Samasekali tidak bermanfaat, malahahan bisa menjadi kontra produktif: dijadikan mainan oleh pemeriksa nakal misalnya, atau paling tidak proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut.
Jika ada perbedaan-perbedaan kecil, meskipun itu terasa tidak wajar, cobalah untuk mempertimbangkannya dengan bijak. Buang jauh-jauh emosi yang tak perlu. Coba perhitungkan kembali risiko yang akan timbul bila terjadi sengketa. Terutama sekali waktu dan pikiran yang akan tersita—sudah pasti konsentrasi mengelola perusahaan akan banyak terganggu. Dengan emosi stabil dan pikiran jernih saya percaya anda bisa mengambil keputusan yang terbaik bagi perusahaan.
Sumber : www.google.com/jurnal akuntansi menengah

6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak part 2


6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Sikap Cerdas-3. Pahami Hak Perusahaan (Selaku Wajib Pajak)

Lebih dari sekedar sikap. Jauh lebih penting adalah memahami bahwa, meskipun disebut ‘Wajib’ Pajak, perusahaan juga memiliki hak, untuk:
  • Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa. Ini penting. Jangan sampai perusahaan melayani pegawai pajak gadungan. Jika ragu-ragu, hubungi Kantor Pelayanan Pajak di wilayah perusahaan berada untuk memverifikasi apakah orang yang datang ke perusahaan memang petugas resmi.
  • Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak. Setiap pemeriksaan selalu ada surat perintah dari Ditjen Pajak (DJP). Menggunakan kepala (kop) surat resmi, ada tandatangan supervisor, kepala pemeriksa, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Setempat atau Dirjen Pajak Pusat jika perintah pemeriksaan datang dari pusat.
  • Menolak untuk diperiksa, apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan, sebaiknya ditolak saja. Wajib pajak berhak untuk menolak jika salah satu saja tidak bisa ditunjukan. 
  • Menanyakan latar belakang dan tujuan pemeriksaan – Tujuan pemeriksaan beserta dokumen dan data yang diminta biasanya sudah tercantum di dalam surat perintah pemeriksaan. Obyek pajak yang akan diperiksapun biasanya jga dicantmkan. Namun jika dipandang perlu, wajib pajak perhak meminta penjelasan tentang latar belakang, maksud dan tujuan pemeriksaan.
  • Meminta tanda bukti peminjaman: buku-buku, catatancatatan, serta dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak. Lokasi pemeriksaan bisa jadi di perusahaan atau di kantor pajak, atau kedua-duanya. Yang paling banyak biasanya kedua-duanya. Sehingga kunjungan pertama ke lokasi wajib pajak biasanya hanya untuk meminta dokumen dan data yang diperlukan dalam rangka melakukan pemeriksaan. Saat menyerahkan dokumen dan data, jangan lupa meminta tanda terima atas penyerahan tersebut.

Sikap Cerdas-4. Memahami Kewajiban Perusahaan (Selaku Wajib Pajak)

Setiap hak selalu disertai oleh kewajiban. Demikian halnya dalam konteks pemeriksaan pajak. Disamping memiliki hak, wajib pajak juga memiliki kewajiban yang mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, harus dilakukan:
  • Wajib pajak, wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan:buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak. Dokumen, catatan, dan data apa persisnya? Biasanya dicantumkan dengan jelas di dalam ‘Surat Perintah Pemeriksaan. Misalnya: Akte pendirian perusahaan, data penjualan beserta invoice tahun 2011, Daftar pegawai, Daftar gaji pegawai tahun 2011, dan lain sebagainya.
  • Wajib pajak, wajib memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Apabila WP tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk memasuki tempat atau ruangan tertentu dan menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, maka pemeriksa pajak berwenang melakukan penyegelan. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah, agar jangan sampai WP menghilangkan bukti-bukti dan dokumen transaksi.
  • Wajib pajak, wajib memberi keterangan yang diperlukan. Ini yang bisa melebar kemana-mana, karena memang tidak tercantum di dalam surat perintah pemeriksaan. Logikanya, segala hal yang terkait dengan tujuan dan obyek pemeriksaan. Sebagai patokan umum, saya selalu menyarankan agar wajib pajak bersikap menjawab saja—artinya jika tidak ditanya tidak perlu diberitahukan dan jika ditanya “jam berapa sekarang?”, tidak perlu menjelaskan proses pembuatan sebuah jam.
Sumber : www.google.com/jurnal akuntansi keuangan

6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak part 1


6 Sikap Cerdas Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Menghadapi pemeriksaan pajak, bagi sebagian besar perusahaan merupakan mimpi buruk—momok menakutkan.  Entah mengapa, dari sekian banyak perusahaan yang saya kenal selama ini, nyaris semuanya merasa terbebani oleh pemeriksaan pajak. Tak jarang juga pemilik usaha yang menjadi khawatir, lalu stress. Bukannya menunjukan sikap cerdas, malahan cenderung menunjukan sikap panik yang samasekali kontra-produktif.
Bisa saya pahami. Sumber utama kekhawatiran sesungguhnya adalah: ketidaktahuan terhadap peraturan pajak beserta teknis pelaksanaannya. Inipun lumrah sekaligus logis. Bagaimana mungkin pengusaha bisa tahu dan memahami peraturan pajak yang begitu banyak. Para pengusaha tidak punya cukup waktu untuk membaca apalagi belajar aturan perpajakan dan segala tetek-bengeknya. Tentu, akan lebih baik jika pikiran dan tenaga mereka fokuskan untuk membuat strategi-strategi pengembangan usaha. Sangat bisa saya mengerti.
Konsultan Pajak? Hmm… Meskipun ada juga yang jujur dan profesional (tentunya dengan fee selangit), sebagiannya lagi fee-nya terjangkau tetapi lebih banyak menimbulkan kepusingan dibandingkan meringankan. Ada juga konsultan pencetak SSP dan pengisi SPT (bukan konsultan pajak)—yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pagawai accounting persahaan itu sendiri.
Cukup. Tujuan saya mempublikasikan ini bukan untuk membuat pembaca menjadi pusing. Melainkan untuk memberi sedikit masukan tentang bagaimana caranya menghadapi pemeriksaan pajak dengan baik—tanpa perlu stress, apalagi panik.

Sikap Cerdas-1. Jangan Menghindar

Banyak wajib pajak yang memilih menghindar ketika didatangi petugas pajak. Saya tahu, itu sering dianjurkan oleh para konsultan pajak, seperti mereka sering sebutkan, “jangan lakukan penggelapan pajak (tax evasion), tapi lakukan penghindaran (tax avoidance)“. Wrong move!  Jangan ikuti anjuran sesat itu. Percuma. Menghindari petugas pajak hanya akan memperlama proses pemeriksaan. Ada 2 fakta penting untuk diketahui, sehingga menghindar samasekali bukan langkah cerdas:
  • Fakta-1. Yang diperiksa adalah badan (perusahaan), bukan diri peribadi direktur, pimpinan atau pemilik perusahaan. Sehingga, petugas pajak akan tetap melangsungkan pemeriksaan dengan atau tanpa kehadiran pimpinan perusahaan. Sikap menghindar hanya akan membuat banyak keterangan yang dibutuhkan menjadi tidak ada, dan itu akan membuat proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut.
  • Fakta-2. Suatu perusahaan menjadi target pemeriksaan bukan karena diundi, tetapi karena setelah dianalisa pihak DJP perlu melakukan pemeriksaan. Sehingga, seberapa keraspun usaha WP untuk menghindar, tetap saja akan diperiksa. Sekali-duakali mungkin bisa menghindar, tetapi DJP tidak akan membatalkan pemeriksaan hanya karena WP menghindar. Salah-salah, penghindaran itu bisa dianggap sebagai dasar untuk menetapkan utang pajak sesuai data yang mereka miliki saja—dan cenderung lebih besar dibandingkan yang seharusnya.
Sehingga dalam kasus ini, menghindar bukanlah sikap yang cerdas. Hadapi dengan tenang. Jangan ikuti anjuran konsultan pajak yang menjerumuskan. Mereka samasekali tidak mengerti bisnis anda. Bukannya meringankan beban anda, yang ada malah membuat masalah baru.

Sikap Cerdas-2. Jangan Anti Tetapi Juga Jangan Membungkuk-bungkuk

Di kantor manapun, dari sekian banyak pegawai, ada saja yang lebih mengedepankan arogansi ketimbang profesionalitas. Terlebih-lebih kantor pajak—badan pemerintah, merasa mewakili pemerintah, merasa menjalankan tugas negara. Bukan hanya pegawai pajak di Indonesia, pegawai IRS (kantor pajak AS) juga ada yang arogan.
Namun demikian, tak sedikit juga pegawai pajak yang bersikap sopan dan profesional. Masalahnya wajib pajak tidak bisa menebak-nebak apakah pegawai yang melakukan pemeriksaan tergolong arogan atau sopan. Untuk itu, saya selalu menyarankan agar sikap profesional dijadikan semacam sikap default.
Seberapa aroganpun sikap pemeriksa (petugas pajak), berusalah untuk tidak emosi—termasuk jangan menujukan sikap anti-pati (misalnya mengabaikan, berlaku tidak sopan, bersikap dingin, dll). Sikap anti-pati, acuh tak acuh hanya akan membat proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut. Salah-salah bisa menimbulkan ketersinggungan. Bagaimanapun juga, petugas pajak juga manusia. Bagaimanapun juga mereka datang bukan untuk ngajakin berantem. Pandang tugas mereka pada porsi yang tepat.
Kesalahan sikap yang umum ditunjukan oleh WP adalah sikap terlalu ramah, membungkuk-bungkuk. Memperlakukan pemeriksa seperti raja. Jangan. Sikap inipun sesungguhnya tidak saya rekomendasikan, karena:
  • Mencoba berpikir positif, saya percaya petugas pajak yang profesional pasti tidak mengharapkan sikap ramah berlebihan dari WP. Sikap terlalu membungkuk (ramah) ini justr menimbulkan rasa risih—seolah-olah mereka (petugas pajak) bisa dibeli dengan bungkukan badan atau perlakuan istimewa lainnya. Jangan.
  • Jika berpikir negatif, membalas sikap arogan dengan sikap membungkuk-bungkuk juga percuma. Bukannya mereka menjadi lebih lunak, yang ada malah makin ditekan karena anda terlihat takut/ciut. Ketakutan biasanya diidentikan dengan ‘merasa melakukan kesalahan’.  Jangan biarkan mereka (pemeriksa) sampai berpikir demikian.
Sumber :www.google.com/jurnal akuntansi menengah

Apakah Pajak Bisa Diakali?


Apakah Pajak Bisa Diakali?

Bagi mereka yang berprofesi sebagai konsultan keuangan ataupajak, “apakah pajak bisa diakali?” ini adalah pertanyaan yang lumrah didengar, terutama dari para kliennya. Dan mereka harus siap dengan jawaban yang, idealnya, tidak mengecewakan klien di satu sisinya, tetapi juga tidak membahayakan diri sendiri di sisi lainnya. Faktanya, apakah pajak benar-benar bisa diakali?
Saya yakin kawan-kawan yang bekerja di bagian accounting juga kerap menjadi sasaran pertanyaan yang sama—terutama yang bekerja di perusahaan bersekala menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa orang accounting pasti ngerti urusan pajak.
Bagi sebagian orang, menerima pertanyaan seperti ini bisa membuat mereka berada di posisi dilematis. Terutama jika yang bertanya bisa mempengaruhi ngebul-atau-tidak-nya asap dapur di rumah—klien, atasan atau boss di kantor.
Menjadi dilematis lantaran: Dari aspek parktek berbisnis, di satu sisinya, mencoba mengurangi beban biaya (untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar) adalah wajar. Sedangkan dari aspek hukum, di sisi lainnya, tindakan mengakali bisa diasosiasikan dengan bentuk penghindaran.
Berangkat dari dua aspek berlawanan ini, saya ingin mengurai dilema “mengakali pajak” dengan cara mulai memilah atribut kata “bisa” dan “boleh”:
  • “Bisa-atau-tak bisa” – Yang namanya praktek (berbisnis) sudah pasti sifatnya teknikal. Untuk sesuatu yang sifatnya teknikal, attribute kata yang digunakan memang hanya “bisa-atau-tak bisa,” terlepas apakah boleh atau tak boleh.
  • “Boleh-atau-tak boleh” – Sebaliknya, yang namanya aspek hukum, hanya mengenal attribute “boleh-atau-tak boleh” terlepas apakah secara teknikal bisa dilakukan atau tidak.
Jika melihat ke masing-masing attribute, lalu dihubungkan dengan aspek praktek berbisnis di satu sisinya dan aspek hukum di sisi lainnya, posisinya sudah jelas: secara hukum sudah pasti TIDAK BOLEH. Secara etik dan moralpun, yang namanya “mengakali”—apapun wujud tindakannya—konotasi yang muncul sudah pasti NEGATIF. Saya yakin penanya pasti sudah mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.
Nah, secara teknis apakah pajak bisa diakali?
Inilah pertanyaan yang sesungguhnya. Mereka (untuk alasan tertentu) sementara mengesampingkan aspek hukum maupun moralitas.
Menurut saya pribadi: segala sesuatu yang sungguh-sungguh sudah dikuasai, secara teknis MESTINYA BISA diakaliMengapa? Karena segala sesuatu di dunia ini, kecuali beliau sang maha pencipta, tak ada yang sempurna. Selalu memiliki cacat, kekurangan dan kelemahan. Termasuk undang-undang perpajakan.
Pertanyaan selanjutnya (dan mungkin yang paling penting): Apa yang bisa diakali di wilayah pajak dan bagaimana mengakalinya?
Sharing pengetahuan teknis mengakali pajak, meskipun saya tak pernah bermaksud mengajari orang tentang apapun di JAK ini (saya hanya ingin berbagi), tetapi mirip seperti chemist professor yang mengajari mahasiswanya untuk meramu racikan bahan peledak. Iya kalau mahasiswanya nanti meracik bahan peledak untuk meruntuhkan bendungan yang ingin diganti baru, nah kalau dipakai untuk meracik bomb bunuh diri? Kan ya repot.
Situasi yang sama juga dihadapi oleh ahli IT yang ditanya ilmu virus, worms, atau malware lainnya. Iya kalau nanti dipakai untuk membuat software anti-virus atau anti-malware, nah kalau dipakai untuk membobol bank? Repot juga kan.
Persisnya, posisi anda dimana—mau berbagi tips atau tidak?mungkin ada yang tak sabar ingin bertanya seperti itu.
Oke. Begini:
Kita di akuntansi, belajar yang namanya “sistim pengendalian intern” (SPI) untuk memastikan perusahaan tidak kehilangan asset. Pengetahuan tentang SPI kemudian dilengkapi dengan ilmu internal audit, dengan tujuan yang sama.
Pertanyaannya: Apakah ada jaminan bahwa kedua pengetahuan tersebut TIDAK dipakai untuk “mengakali” sistim keuangan perusahaan—guna mendapatkan keuntungan pribadi?
Itu jika anda orang accounting atau keuangan.
Jika anda kebetulan berlatarbelakang marketing (manajemen) misalnya: anda diajari ilmu perilaku konsumen (costumer behavior), dari aspek psikologis, untuk menyasar calon konsumen dalam berbagai umur. Anda diajari tentang “pester power” agar anak-anak merengek kepada orang tuanya untuk dibelikan mainan terbaru yang sedang dipasarkan oleh perusahaana anda. Jika anda berhasil, di satu sisinya karir anda mungkin melambung tinggi, tetapi apakah konsumerisme masyarakat tidak semakin membumbung tinggi, di sisi lainnya?
Yang ingin saya sampaikan sesungguhnya adalah: ilmu pengetahuan termasuk yang sifatnya teknikal seperti perpajakan, akuntansi, marketing, kimia, IT, dll., adalah tools (alat). Yang namanya alat jika dipakai untuk melakukan kebaikan maka hasilnya adalah kebaikan, demikian sebaliknya. Perbedaan wajah dari dua sisi keeping uang logam, tidak seharusnya membuat suatu ilmu pengetahuan “tabu” untuk dipelajari.
Sumber : www.google.com/jurnal akuntansi keuangan

Etika seorang Auditor 4


Mengapa Timbul Salah-Saji Yang Tak Terkoreksi?

Salah-saji, idealnya, dikoreksi—oleh akuntan penyusun laporan keuangan—begitu ditemukan. Tetapi pada kondisi tertentu, salah-saji seringkali dibiarkan begitu saja karena alasan tertentu. Salah satu alasan yang paling lumrah digunakan adalah pertimbangan “materialitas”—salah-saji yang tak terkoreksi dianggap “tidak material”.
Dari sisi penyusun laporan keuangan (entah akuntan internal atau konsultan), pertimbangan ‘material/tidak material’ seringkali dipengaruhi oleh faktor lain, terutama batas akhir penyampaian laporan keuangan (relevansi), disamping keinginan untuk meminimalkan biaya yang timbul dari proses penyusunan laporan.
Mereka yang kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan, saya yakin bisa membayangkan situasi berikut ini:
Setelah ngos-ngosan mengejar batas akhir penyampaian laporan keuangan, tanggl 2 Januari 2013, akhirnya berhasil merampungkan lapora keuangan. Setelah diteliti sekilas, laporan keuangan dikirimkan ke semua jajaran manajemen perusahaan.
Sekembalinya ke meja, penyusun laporan meneiliti kembali item-item yang tersaji dalam laporan keuangan—yang printoutnya sudah dibagi-bagikan ke pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si penyusun laporan berpikir, “Ah.. biarin deh, sudah terlanjur dilaporkan, lagi pula nggak material ini juga”.
Bisa dibilang, konsep “materialitas” mengandung unsur subyektifitas yang tinggi.
Dalam seknario yang lebih parah, sudah banyak terjadi di luar sana, pertimbangan materialitas banyak digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pembiaran salah-saji, sejak di awal, bahkan untuk kesalahan yang disengaja. Adalah kenyatakaan bahwa pertimbangan materialitas kerap disalahgunakan—tentunya oleh manajemen yang tidak disadari oleh akuntan.
Persoalan ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi akuntan penyusun laporan keuangan. Idealnya, seorang akuntan yangmenyusun laporan keuangan seharusnya tidak mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan relevansi (ketepatwaktuan). Para akuntan peyusun laporan keuangan, oleh standar, diharapkan mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara profesional—tanpa mengurangikeandalan dan ketepatwaktuan laporan.
Tahu harus bersikap apa ketika menumakan salah-saji adalah satu hal penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas—yang idealnya lebih mumpuni dibandingkan akuntan penyusun laporan keuangan—adalah hal yang pokok; bagaimana bisa menentukan sikap profesional, ketika menemukan salah-saji, jika tidak tahu batasan materialitas?
Sumber: jurnal akuntansi keuangan/etika auditor

Etika seorang Auditor 3


Bagaimana Auditor Menyikapi Salah-Saji?

Untuk “salah-saji telah diketahui”, auditor diwajibkan—oleh tuntutan profesinya—untuk meminta manajemen perusahaan (auditee) untuk melakukan koreksi terhadap masing-masing item salah-saji. Dalam banyak kasus, perusahaan (auditee) biasanya keberatan untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika itu yang terjadi biasanya auditor perlu menjelaskan alasannya—secara terperinci. Jika masih tetap tidak mau, auditor biasanya menyertakan “sangkalan” (disclaimer) dalam opininya.
Sedangkan untuk “kemungkinan salah-saji”, diperlakukan sebagai berikut:
1. Jika berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap populasi dari uji secara sampling), maka auditor meminta manajemen untuk meneliti keseluruhan populasi dari mana sample diambil. Populasi ini bisa jadi berupa kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi tambahan yang tercatum dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari permintaan ini agar pihak menajemen perusahaan (auditee) menemukan semua salah-saji yang ada di dalam populasi, tanpa terkecuali—sehingga bisa melakukan koreksi yang diperlukan.
Misalnya:
Dari sample yang ditarik dari data inventory, auditor menemukan kesalahan di beberapa transaksi. Dalam kasus seperti ini auditor akan meminta pihak manajemen untuk melakukan pemeriksaan sendiri, transaksi-per-transaksi, guna menemukan kesalahan-kesalahan lainnya, untuk dikoreksi.
2. Jika berasal dari perbedaan estimasi—antara auditor dengan estimasi perusahaan—maka auditor meminta pihak manajemen untuk meninjau kembali metode dan asumsi yang digunakan untuk melakukan estimasi, termasuk perhitungannya.
Misalnya:
Nilai cadangan kerugian piutang tak tertagih. Bila estimasi perusahaan terlalu tinggi atau rendah dibandingkan dengan estimasi auditor, maka auditor meminta perusahaan untuk meninjau kembali metode pencadangan, asumsi beserta perhitungan yang dijadikan dasar dalam menentukan besarnya cadangan kerugian piutang.

Auditor diharapkan dapat berkomunikasi dengan pihak manajemen perusahaan setelah salah-saji ditemukan, yang manapun typenya. Makin cepat komunikasi dilakukan makin bagus, karena sangat mungkin manajemen membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memenuhi permintaan auditor. Selanjutnya auditor meminta pihak manajemen melakukan koreksi atau meminta bukti transaksi/data/informasi tambahan. Perusahaan di sisi lainnya, diharapkan mampu (terutama sekali “mau”) menggunakan pertimbangan kualitatif dalam menilai suatu salah-saji—disamping kuantitatif.
sumber:jurnal akuntansi menengah/etika auditor

Etika seorang Auditor 2


Type-type Salah-saji Dari Sudut Pandang Auditor (Eksternal)

Akuntan penyusun laporan keuangan, jelaslah harus memiliki sistim atau prosedur pengendalian khusus untuk mengurangi risiko adanya kesalahan informasi yang disengaja namun tak terdeteksi jika tanpa prosedur—yang bisa mengakibatkan salah-saji, sebagai alat penyaring awal.
Sementara itu, auditor eksternal—yang pastinya sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik—diharapkan agar menajalankan proses pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah-saji lolos dari penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material, termasuk salah-saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan salah-saji menjadi 2 kelompok atau kategori: (1) salah-saji telah diketahui; dan (2) kemungkinan salah-saji.
Salah-saji Telah Diketahui’ bisa timbul dari:
  • Pemilihan atau implementasi prinsip akuntansi yang salah
  • Kesalahan dalam pengumpulan, pemrosesan, pengelompokan, penginterpretasian, atau kelalaian dalam mengidentifikasi informasi/data yang relevan
  • Niat (dengan sengaja) untuk membuat pengguna laporan keuangan salah dalam mengambil keputusan
  • Niat (dengan sengaja) untuk menutupi pencurian tertentu
Kemungkinan Salah-saji’ bisa timbul dari:
  • Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor.
  • Angka yang telah diproyeksikan ( istilah statistiknya “extrapolated”) oleh auditor berdasarkkan hasil-hasil dari prosedur ‘sampling’—baik statistikal atau non-statistikal—pada suatu populasi (data).
Auditor selanjutnya mengevaluasi item-item salah saji untuk kemudian dikelompokan ke masing-masing kelompok diatas. Seperti sudah disampaikan di atas, sesuai dengan standar audit, auditor bertanggungjawab untuk menemukan (dan mengelola) salah-saji, baik yang diketahui maupun yang masih berupa kemungkinan salah-saji, kecuali yang menurut auditor tergolong “sepele” atau “tidak penting”.
Dalam menilai “sepele” atau “tidak penting”, mengenai salah-saji, auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan—baik secara individual maupun setelah digabung—tergolong material atau tidak material.
sumber: jurnal akuntansi keuangan/etika auditor

Etika seorang Auditor 1


Kepentingan Auditor Terhadap Materialitas Dan Salah-saji

Auditor jelas sangat berkepentingan terhadap persoalan materialitas. “Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan Auditor menentukan materialitas dalam 2 jenis aktivitas proses audit, yaitu:
  • Perencanaan audit dan perancangan prosedur audit; dan
  • Evaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan
Dalam perencanaan audit, auditor melakukan pertimbangan awal terhadap materialitas, dalam 2 tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan Laporan Keuangan – Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan salah saji minimum” yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
2. Tingkatan Saldo Akun – Pada tingkat ini, materialitas merupakan “salah saji terkecil” yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Audior, idealnya, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan keuangan (lihat di bawah)—bagaimanapun juga salah-saji yang tidak material secara individu bisa jadi material terhadap laporan keuangan bila digabungkan dengan saldo akun yang lain.
Pertimbangan materialitas pada saat perencanaan audit mungkin berbeda dengan pertimbangan materialitas pada saat evaluasi laporan keuangan karena alasan berikut ini:
  • Keadaan yang melingkupi berubah; atau
  • Adanya informasi tambahan selama proses audit; atau
  • Keduanya


sumber:jurnal akuntansi keuangan/etika auditor

Logika Audit dan Materialitas


Logika Audit dan Materialitas

Akar dari auditing itu logic,  berawal dari asersi menuju ke audit objektif. Audit objektif dibagi dua yaitu balance related dan Transaction related. Setelah itu baru disusun prosedur audit. Contoh: manajemen mengeluarkan asersi persediaan beserta pernyataan manajemennya, pertama di cek keberadaannya apakah ada? Lakukan prosedur pengecekan. Kedua, cek completeness dari persediaan tersebut, cek setiap transaksi yang bersangkutannya. Dsb.
Materialitas adalah salah saji atau omisi informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan sekelilingnya, memungkinkan penilaian seseorang yang masuk akal yang  mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh omisi tersebut. Dalam auditing, materialitas ditetapkan pada tingkat laporan keuangan maupun tingkat saldo akun/ kelompok transaksi, dan digunakan pada tahap perencanaan maupun evaluasi audit. Setiap hasil audit maka akan dibandingkan dengan perencanaannya, juga dibandingkan dengan materialitas awal. Kadang auditor menemukan salah saji, biasanya auditor menawarkan kepada auditee mau atau tidak untuk dikoreksi sehingga wajar. Tingkat materialitas berbeda untuk setiap entitas, untuk akun yang memiliki tingkat materialitas nya kecil dan mutasi nya sedikit dg brek down yang sedikit pula biasanya dilakukan pemeriksaannya dg 100% keseluruhan pemeriksaan untuk setiap akunnya.
Komposisi materilitas dalam laporan keuangan terdapat tiga kriteria; pertama adalah known mistatement, likely mistatement, potential undetected misstatement. Dalam menetapkan allowance for undetected, biasanya auditor lebih suka menggunakan pertimbanga praktis (bil auditor tidak mempunyai pengalaman dengan klien atau memilih menghindari dari penaksiran-penaksiran). Pertimbangan praktis dalam menaksir the allowance for undetected misstatement adalah dari 50% s.d 75% dari pertimbangan mengenai materialitas. Taksiran ini perlu dievaluasi selama perkembangan audit.

sumber:etika auditor/accounting1st

Elemen-elemen sistem keuangan


Definisi elemen-elemen statement keuangan
Definisi berkaitan dengan beberapa karakteristik utama elemen-elemen statement keuangan. Definisi elemen merupakan penyaring atau criteria penting pertama untuk menentukan isi statement keuangan. Untuk disajikan melalui statement keuangan, suatu objek atau pos tidak cukup hanya memenuhi definisi tetapi harus mengakui criteria pengakuan dan pengukuran. Berikut ini disajikan definisi elemen-elemen yang diidentifikasikan FASB.
  • Asset adalah manfaat ekonomik masa dating yang cukup pasti yang diperoleh atau dikuasai oleh suatu entitas sebagai hasil transaksi atau kejadian masa lalu.
  • Kewajiban adalah pengorbanan masa manfaat ekonomik masa dating yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu entitas untuk mentransfer asset atau menyerahkan jasa kepada entitas lain di masa dating sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu.
  • Ekuitas atau asset bersih adalah hak residual terhadap asset suatu entitas yang masih tersisa setelah mengurangi asset dengan kewajibannya.
  • Investasi oleh pemilik adalah kenaikan dalam ekuitas suatu badan usaha sebagai akibat dari transfer ke entitas lain sesuatu yang bernilai untuk mendapatkan atau menaikkan hak pemilikan atau ekuitas di dalamnya.
  • Distribusi ke pemilik adalah penurunan dalam ekuitas suatu badan usaha sebagai akibat pentransferan asset, penyerahan jasa, dan penimbulan kewajiban oleh badan usaha tersebut kepada pemilik.
  • Laba komprehensif adalah perubahan dalam ekuitas suatu badan usaha selama suatu periode yang berasal dari transaksi dan kejadian lain dan kondisi dari sumber-sumber nonpemilik.
  • Pendapatan adalah aliran msuk asset atau kenaikan asset lainnya pada suatu entitas atau penyelesaian/pelunasan kewajiban entitas tersebut dari penyerahan atau produksi barang, pemberian/penyerahan jasa, atau kegiatan lain yang membentuk operasi sentral atau utama dan berlanjut dari entitas tersebut.
  • Biaya adalah aliran keluar asset atau penyerapan asset lainnya pada suatu entitas atau penimbulan kewajiban entitas tersebut (atau kombinasi keduanya) dari penyerahan atau produksi barang, pemberian/penyerahan jasa, atau kegiatan lain yang membentuk operasi sentral atau utama dan berlanjut dari entitas tersebut.
  • Untung adalah kenaikan dalam ekuitas yang berasal dari transaksi peripheral (ikutan) atau insidental (kala-kala) suatu entitas dan dari semua transaksi atau kejadian atau keadaan lain yang mempengaruhi entitas tersebut kecuali kenaikan sebagai akibat dari pendapatan atau investasi oleh pemilik.
  • Rugi adalah penurunan dalam ekuitas yang berasal dari transaksi peripheral atau insidental suatu entitas dan dari semua transaksi atau kejadian atau keadaan lain yang mempengaruhi entitas tersebut kecuali penurunan sebagai akibat dari biaya atau distribusi ke pemilik.

sumber:google.com/jurnal keuangan