Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan antara 5 persen hingga 6 persen per tahun nampaknya belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Ironisnya terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dimana saat ini diperkirakan mencapai 37 juta jiwa.
Berdasarkan studi dari Bank Dunia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia masuk kategori miskin dan berada di ambang kemiskinan. Hal tersebut menjadikan permasalahan kemiskinan patut mendapat perhatian besar dari semua pihak. Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin itulah yang mengundang pertanyaan siapa sebenarnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi itu?.
Selain itu terjadinya perubahan struktur perekonomian Indonesia yang selama ini sector Pertanian menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia semakin menurun.
Satu sisi sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi sharenya semakin meningkat. Perubahan struktur inilah yang diduga menjadi efek langsung terhadap tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Fenomena terhadap siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur perekonomian sebenarnya dapat kita analisis dari kemana saja larinya sumber-sumber perekonomian tersebut sehingga peningkatan angka kemiskinan terus terjadi di Indonesia.
Karena itu diperlukan suatu kebijakan terkait dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang mengacu pada ekonomi kerakyatan. Sering dipertanyakan oleh berbagai kalangan ekonomi konsep ekonomi kerakyatan yang digulirkan pada akhirnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah masyarakat miskin.
Menurut Kuznets (1955, 1963) menyebutkan bahwa proses pembangunan akan disertai dengan meningkatnya inequality secara substansial, yang akan berbalik hanya pada tahap perekonomian sudah maju (advanced) dimana dipertegas lagi oleh Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979) diduga bahwa pertumbuhan ekonomi disertai dengan meningkatnya inequality sehingga masyarakat miskin mendapat bagian yang kecil dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Beberapa studi ahli ekonomi lainnya seperti Knowles (2001) mengungkapkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keduanya pada sejumlah negara berkembang, namun pada negara-negara lainnya bukti tersebut tidak ditemukan.
Sedangkan Ravallion dan Chen (1997) juga tidak menemukan adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan, namun ditemukan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
Bourguignon (2002) juga mengidentifikasi adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan perubahan distribusi pendapatan. Ukuran kemiskinan sebagaimana diuraikan oleh Bigsten dan Shimeles (2005) menyebutkan adanya dua ukuran kemiskinan, yaitu pendapatan per kapita dan income-inequality hal demikian juga digambarkan Kakwani (1991) dan Ravallion (1992) bahkan ada dugaan bahwa tingkat kemiskinan disebuah Negara tidak terlepas dari kinerja variabel-variabel ekonomi makro.
Studi Balke dan Slottje (1993), yang menguji tentang hubungan antara variabel-variabel ekonomi makro dan tingkat kemiskinan mengungkapkan bahwa pengaruh korelasi antar negara juga turut berperan terhadap tingkat kemiskinan di suatu Negara.
Ahli sosiologi Dunia Ketiga J. Goldthorpe (1992) mengemukakan bahwa karakteristik ekonomi Negara miskin dapat dilihat dari ekonomi ganda, sector garis depan, tebaran dan akibat buruk, kerawanan sector tunai, perusahaan besar Negara kecil, pendatang terlambat, tenaga kerja, pekerjaan dan pendapatan, korupsi.
Analisis dan kajian
Sebagai pendekatan pertama secara kasar ekonomi setiap Negara secara bermanfaat dapat dipandang terdiri atas dua sector yaitu yang secara berbeda-beda disebut sector “uang”, sector “moneter” atau sector “modern dan atau sector “non meneter”, sector “rumah tangga”, sector “tradisionil” atau sector “subsistensi”.
Bila sector pertama yang kita kaji bahwa barang diproduksi dan jasa diberikan demi uang, terjadi transaksi tunai dan apa saja dihargai dengan uang. Dalam sector yang kedua barang diproduksi dan jasa diberikan tanpa pembayaran berupa uang (meskipun uang dapat digunakan dalam pemberian) dan barang-barang dihargai lebih sebagai timbale baik yang bersifat pribadi dalam hubungan dengan ikatan keluarga, gengsi atau dalam hubungan sebagai tetangga.
Di semua Negara termasuk Indonesia banyak produksi yang dilaksanakan oleh tenaga keluarga yang tidak dibayar dalam sector rumah tangga non moneter, misalnya memasak dan menghidangkan makanan bahkan kebutuhan orang dalam sector ini dipenuhi sampai batas-batas yang jauh lebih luas daripada Negara-negara industry dan menurut tradisi lebih luas lagi.
Intinya di Negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia banyak kebutuhan terpenuhi (betapapun tidak memadai) dalam subsistensi tradisionil, tanpa adanya urusannya dengan uang. Sebaliknya uang tunai modern diwakili oleh lembaga-lembaga seperti tambang, pabrik, bank dan kantor-kantor dagang dimana sangat berbau bisnis dengan penggunaan uang sepenuhnya, kredit dan bursa internasional.
Setidaknya satu komiditi atau produk-produk di tiap Negara miskin adalah sangat modern berdasarkan cara ini- bahkan sering sector-sektor ini kelihatan seperti kantong atau pulau modernitas ekonomi dan teknologi dan berbeda dengan kehidupan sekitarnya.
Menurut sifatnya sendiri, perkembangan ekonomi itu agaknya cenderung menimbulkan disparitas regional, kelas dan komunitas serta menimbulkan dampak politik lainnya secara serius.
Sekadar mengingatkan Laporan Komisi Brandt pada tahun 1980 mengungkapkan bahwa ada beberapa Negara yang menerima hamper seluruh pendapatan mereka dari ekspor satu komiditi kecuali minyak. Zambia 94 % dari tembaga, Mauritas dan Kuba 90 % dan 85 % dari gula, Gambia 85 % dari kacang tanah dan minyak kacang tanah. Terungkap juga bahwa pada tahun 1980 ekspor barang dagangan berjumlah 20 % atau lebih dari produk domestic bruto Zaire (tembaga), Srilangka (teh dan karet), Guinea (bouksit dan aluminium), El Salvador (Kopi), Nikaragua (Kopi dan kapas).
Aspek lain dari ekonomi internasional modern adalah yang membuatnya menjadi rawan dan tidak terkendali dilihat dari sudut Negara miskin khususnya pemerintah ialah apa yang disebut sindrom perusahaan besar Negara miskin. Banyak kegiatan sector modern di Negara-negara miskin dikuasai oleh beberapa perusahaan besar yang disebut dengan perusahaan multi nasional.
Kemudian perusahaan seperti itu menyebar berbagai kegiatannya disejumlah Negara dengan demikian memperkecil resiko kerugiannya, tidak hanya karena gangguan alam seperti iklim dan penyakit tanaman, akan tetapi juga karena bahaya politik, kerewelan buruh yang menyebabkan adanya usaha produksi sangat tidak baik untuk Negara secara individual.
Kenaikan produktivitas yang disebabkan oleh kemajuan teknik dapat memungkinkan pembayaran gaji yang relative tinggi, terlebih lagi bila para pekerja dapat mengorganisasikan dirinya sendiri menjadi serikat buruh, meskipun membawa akibat, bertambahnya pengangguran akan tetapi ketergantungan ekonomis maupun politik Negara kepada perusahaan jelas besar dan rawan.
Sebaliknya teknologi yang tersedia untuk dipinjam dari Negara-negara yang kini pada tahap perkembangan ekonomi maju ialah sarat modal yang memberi kesempatan bekerja pada sejumlah kecil orang dengan gaji yang tinggi dan sangat tidak sesuai dengan kondisi Negara yang berpendapatan rendah. Contoh di Indonesia adalah teknologi pembangunan jalan alat-alat berat Jepang begitu banyaknya digunakan dan hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja sudah mampu mengerjakan jalan ribuan kilometer. Dengan kondisi demikian harus diakui bahwa Negara Indonesia tidak dapat melalui tahapan-tahapan perkembangan yang sama di dunia yang telah berubah termasuk dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Teknologi di sektor industri perkotaan sekarang inipun sudah sangat maju dan sarat modal hanya member pekerjaan pada sedikit orang dengan bayaran yang tinggi.
Analisis Hasil
Dalam industry yang padat modal dengan sedikit pekerja yang relative terlatih baik, gaji memainkan peranan yang relative kecil dari keseluruhan pembiayaan dan pihak manajemen tidak mempunyai banyak alasan untuk menolak tuntutan kenaikan gaji.
Dalam batas yang semakin luas pemilihan untuk jabatan yang bergaji besar dan yang jumlahnya sangat sedikit di sekotor modern, didasarkan atas kualifikasi pendidikan formal yang diperoleh dengan system persekolahan. Hal ini menyebabkan pendidikan sekolah dan sertifikat sangat dihargai dengan konsekuensi yang penting mengenai disparitas pendapatan.
Sektor informal ribuan perusahaan mini dan orang-orang yang bekerja untuk dirinya sendiri dimana di Indonesia menghasilkan manufaktur kecil-kecilan dengan metode kerajinan tangan, tukang-tukang kecil, masak-memasak penganan dan sebagainya bersama dengan kegiatan pengusaha warung, pedagang kali lima, penjual air serta buruh lepas termasuk pembantu rumah tangga tumbuh subur dan mereka berupaya melepaskan diri dari masalah kemiskinan.
Melalui sector kegiatan informal itu, daya beli menyebar lebih luas dari sejumlah kecil orang yang bernasib baik dalam jabatan sector modern ke orang miskin. Ini jugalah yang terjadi dengan cara lain melalui jaringan kekerabatan, karena pekerja di kota yang bergaji baik, mengirimkan sebagian pendapatan mereka kepada keluarga di daerah pedesaan.
Banyak perhatian telah diberikan kepada pengirim uang seperti itu dalam studi-studi tentang migrasi kaum pekerja dimana pekerjaan di sector meedern merupakan suatu episode meskipun berlangsung sekitar dua hingga duapuluh tahun dan bukan suatu keterlibatan yang tetap.
Pada umumnya, bea masuk yang tinggi dan pengawasan yang kompleks serta ketat akan kehidupan ekonomi sekaligus dengan korupsi “inefesien” menyebabkan pelanggaran hukum dan peraturan secara luas. Penyelewengan sumber daya khususnya sumber daya yang sungguh langka yaitu tenaga praktis dan terdidik hingga mengurusi dan menetapkan dan tidak memproduksi juga menjadi sumber-sumber baru mata rantai ekonomi. Maka semakin banyak produk-produk undang-undang digulirkan yang tidak ada hubungannya dengan memproduksi barang jelas merupakan inefesiensi dibidang ekonomi. Bahkan orang miskin pun saat ini wajib mengurus “Kartu Miskin” yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan ekonomi dan produksi. Maka muncullah produksi-produksi “dokumen” yang wajib dibayar dengan biaya administrasi. Itulah tarif-tarif yang terus menjadi sumber pemasukan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan memproduksi.
Dalam keadaan eksterm, kepentingan asing dengan investasi besar di Negara Indonesia seperti perusahaan-perusahaan besar asing global yang beroperasi mungkin dapat dikatakan memborong pemerintah dan mengatur Negara sebagai anak perusahaan yang tidak resmi namun untuk membuktikannya sangat sulit karena systemnya sangat ketat.
Bahkan orang-orang dalam posisi kekuasaan yang berpengaruh dalam kebanyakan hal telah mendapatkan imbalan yang resmi dan sah dari penghasilan mereka dari gaji dan sebagainya. Sebagaimana dikutip Sharpton “tingkat pajak akan lebih rendah, khususnya atas pendapatan tinggi dan dalam pemerintahan yang korup, uang tersebut dapat menghasilkan uang secara sangat langsung, kontrak pemerintah, bantuan, konsesi, pembebasan dan subsidi diterima oleh mereka yang dapat membayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar