Apakah Pajak Bisa Diakali?
Bagi mereka yang berprofesi sebagai konsultan keuangan ataupajak, “apakah pajak bisa diakali?” ini adalah pertanyaan yang lumrah didengar, terutama dari para kliennya. Dan mereka harus siap dengan jawaban yang, idealnya, tidak mengecewakan klien di satu sisinya, tetapi juga tidak membahayakan diri sendiri di sisi lainnya. Faktanya, apakah pajak benar-benar bisa diakali?
Saya yakin kawan-kawan yang bekerja di bagian accounting juga kerap menjadi sasaran pertanyaan yang sama—terutama yang bekerja di perusahaan bersekala menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa orang accounting pasti ngerti urusan pajak.
Bagi sebagian orang, menerima pertanyaan seperti ini bisa membuat mereka berada di posisi dilematis. Terutama jika yang bertanya bisa mempengaruhi ngebul-atau-tidak-nya asap dapur di rumah—klien, atasan atau boss di kantor.
Menjadi dilematis lantaran: Dari aspek parktek berbisnis, di satu sisinya, mencoba mengurangi beban biaya (untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar) adalah wajar. Sedangkan dari aspek hukum, di sisi lainnya, tindakan mengakali bisa diasosiasikan dengan bentuk penghindaran.
Berangkat dari dua aspek berlawanan ini, saya ingin mengurai dilema “mengakali pajak” dengan cara mulai memilah atribut kata “bisa” dan “boleh”:
- “Bisa-atau-tak bisa” – Yang namanya praktek (berbisnis) sudah pasti sifatnya teknikal. Untuk sesuatu yang sifatnya teknikal, attribute kata yang digunakan memang hanya “bisa-atau-tak bisa,” terlepas apakah boleh atau tak boleh.
- “Boleh-atau-tak boleh” – Sebaliknya, yang namanya aspek hukum, hanya mengenal attribute “boleh-atau-tak boleh” terlepas apakah secara teknikal bisa dilakukan atau tidak.
Jika melihat ke masing-masing attribute, lalu dihubungkan dengan aspek praktek berbisnis di satu sisinya dan aspek hukum di sisi lainnya, posisinya sudah jelas: secara hukum sudah pasti TIDAK BOLEH. Secara etik dan moralpun, yang namanya “mengakali”—apapun wujud tindakannya—konotasi yang muncul sudah pasti NEGATIF. Saya yakin penanya pasti sudah mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.
Nah, secara teknis apakah pajak bisa diakali?
Inilah pertanyaan yang sesungguhnya. Mereka (untuk alasan tertentu) sementara mengesampingkan aspek hukum maupun moralitas.
Menurut saya pribadi: segala sesuatu yang sungguh-sungguh sudah dikuasai, secara teknis MESTINYA BISA diakali. Mengapa? Karena segala sesuatu di dunia ini, kecuali beliau sang maha pencipta, tak ada yang sempurna. Selalu memiliki cacat, kekurangan dan kelemahan. Termasuk undang-undang perpajakan.
Pertanyaan selanjutnya (dan mungkin yang paling penting): Apa yang bisa diakali di wilayah pajak dan bagaimana mengakalinya?
Sharing pengetahuan teknis mengakali pajak, meskipun saya tak pernah bermaksud mengajari orang tentang apapun di JAK ini (saya hanya ingin berbagi), tetapi mirip seperti chemist professor yang mengajari mahasiswanya untuk meramu racikan bahan peledak. Iya kalau mahasiswanya nanti meracik bahan peledak untuk meruntuhkan bendungan yang ingin diganti baru, nah kalau dipakai untuk meracik bomb bunuh diri? Kan ya repot.
Situasi yang sama juga dihadapi oleh ahli IT yang ditanya ilmu virus, worms, atau malware lainnya. Iya kalau nanti dipakai untuk membuat software anti-virus atau anti-malware, nah kalau dipakai untuk membobol bank? Repot juga kan.
“Persisnya, posisi anda dimana—mau berbagi tips atau tidak?”mungkin ada yang tak sabar ingin bertanya seperti itu.
Oke. Begini:
Kita di akuntansi, belajar yang namanya “sistim pengendalian intern” (SPI) untuk memastikan perusahaan tidak kehilangan asset. Pengetahuan tentang SPI kemudian dilengkapi dengan ilmu internal audit, dengan tujuan yang sama.
Pertanyaannya: Apakah ada jaminan bahwa kedua pengetahuan tersebut TIDAK dipakai untuk “mengakali” sistim keuangan perusahaan—guna mendapatkan keuntungan pribadi?
Itu jika anda orang accounting atau keuangan.
Jika anda kebetulan berlatarbelakang marketing (manajemen) misalnya: anda diajari ilmu perilaku konsumen (costumer behavior), dari aspek psikologis, untuk menyasar calon konsumen dalam berbagai umur. Anda diajari tentang “pester power” agar anak-anak merengek kepada orang tuanya untuk dibelikan mainan terbaru yang sedang dipasarkan oleh perusahaana anda. Jika anda berhasil, di satu sisinya karir anda mungkin melambung tinggi, tetapi apakah konsumerisme masyarakat tidak semakin membumbung tinggi, di sisi lainnya?
Yang ingin saya sampaikan sesungguhnya adalah: ilmu pengetahuan termasuk yang sifatnya teknikal seperti perpajakan, akuntansi, marketing, kimia, IT, dll., adalah tools (alat). Yang namanya alat jika dipakai untuk melakukan kebaikan maka hasilnya adalah kebaikan, demikian sebaliknya. Perbedaan wajah dari dua sisi keeping uang logam, tidak seharusnya membuat suatu ilmu pengetahuan “tabu” untuk dipelajari.
Sumber : www.google.com/jurnal akuntansi keuangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar