Selasa, 25 Desember 2012

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Atas Properti


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Atas Properti




Transaksi ataupun keberadaan dari suatu properti akan selalu terikat dengan suatu pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas properti tersebut. Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan disahkannya RUU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang PDRD. Pada akhir tahun 2013 nanti, PBB untuk sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2) akan dikelola oleh PEMDA. Dengan begitu ada dua UU yang mengatur tentang PBB. UU No.12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994 untuk PBB sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan (P3) dan UU No. 28 Tahun 2009 untuk PBB sektor (P2).
Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana seluruh proses pengelolaan PBB, khususnya sektor pedesaan dan perkotaan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB Properti adalah berupa:
a. NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Miliar;
b. pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak);
c. pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994, yang dimaksud dengan :
1). Bumi adalah Permukan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi tersebut meliputi seluruh tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
2). Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ perairan.
Berikut ini juga termasuk dalam kategori bangunan :
– jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
– jalan TOL;
– kolam renang;
– pagar mewah
– tempat olah raga;
– galangan kapal, dermaga;
– taman mewah;
– tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
– fasilitas lain yang memberikan manfaat;
3). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak yang sejenis, atau Nilai Perolehan Baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
Yang dimaksud dengan :
- Perbandingan harga Objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan penilaian dengan cara membandingkan dengan Objek lain yang sejenis (kriteria fisik), letaknya berdekatan, fungsi penggunaanya sama dan elah diketahui harga jualnya. Dalam Ilmu Penilaian Properti Pendekatan ini dikenal dengan istilah Pendekatan Perbandingan Nilai Pasar Wajar. Mengapa saya mengaitkan ilmu PBB dengan Penilaian, khususnya Penilaian property, hal ini karena antara PBB dan Penilaian ada kaitan yang erat yaitu dalam penentuan NJOP seorang penilai PBB harus memiliki kompotensi dalam bidang penilaian property. Hal ini dikarenakan tidak semua OP dapat diketahui NJOP-nya dengan melalui harga transaksi jual beli.
- Nilai Perolehan baru merupakan pendekatan yang digunakan dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh Objek tersebut pada saat penilaian dilaksanakan, yang kemudian dikurangi dengan penyusutan fisik yang terjadi pada Objek tersebut. Dalam penilaian property pendekatan tersebut dikenal dengan Pendekatan Biaya, namun biasanya pengurangan penyusutan yang digunakan tidak hanya atas penyusutan fisik, tetapi juga atas penyusutan fungsi dan penyusutan ekonomi.
- Nilai Jual pengganti adalah pendekatan yang digunakan untuk menentukan NJOP berdasarkan pada hasil produksi Objek tersebut. namun, cara ini belum umum digunakan dalam penilaian untuk tujuan PBB. Padahal, menurut saya pendekatan ini sangat cocok digunakan untuk menilai properti-properti yang mengahasilkan pendapatan (Income Producing Property). Dalam penilaian disebut dengan pendekatan pendapatan.
4). Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adanya penggunaan SPOP menunjukan sisi prinsip self assessment yang terjadi pada pemungutan PBB, namun dalam PBB juga terdapat prinsip official assessment karena penghitungan PBB Objek Pajak masih dilakukan oleh fiskus yang kemudian diberitahukan kepada Wajib pajak melalui SPPT. Hal inilah yang membuat PBB, menurut saya, menjadi pajak yang unik. Perhitungan PBB yang masih dilakukan oleh pihak fiskus bias jadi karena minimnya pengetahuan Wajib pajak tentang bagaimana cara menghitung PBB atau karena tidak semua Wajib Pajak mengetahui NJOP dari Objek miliknya.
5). Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) merupakan surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak. SPPT ini juga merupakan dasar penagihan pajak yang digunakan dalam rangka penagihan PBB, selaian menggunakan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat tagihan Pajak (STP).
6). Pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 disebutkan bahwa Objek PBB adalah Bumi dan Bangunan adalah Bumi dan Bangunan.
7). Pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 disebutkan bahwa Subjek Pajak adalah adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Hal yang sama disebutkan dalam Pasal 78 ayat 1 UU No. 28 tahun 2009 tentang pengertian Subjek Pajak.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, yang dimaksud dengan :
1). Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaanadalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usahaperkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
2). Pada Pasal 77 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2009, Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya,yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. Jalan tol;
c Kolam Renang;
d. Pagar mewah;
e. Tempat olahraga;
f. Galangan kapal, dermaga;
g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
h. Menara.
Dapat dilihat bahwa ada sedikit perbedaan (pengspesifikasian) yang membahas mengenai yang termasuk dalam kategori bangunan pada Pada Pasal 77 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2009 dan Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994, yaitu pada huruf h yang berbunyi menara, sedangkan pada Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 huruf h adalah fasilitas lain yang memberikan manfaat.
3).Pada Pasal 77 ayat 1 UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
4). Pengertian Subjek Pajak pada UU No. 28 tahun 2009 sama dengan pengertian Subjek pajak pada UU No 12 Tahun 1985 jo. UU No 12 tahun 1994.
Sejak adanya Undang-Undang baru tentang Pajak Daerah (UU No. 28/2009), PBB Pedesaan dan Perkotaan (PBB selain untuk hasil pertambangan, kehutanan dan hasil bumi) merupakan Pajak Daerah yang diatur oleh Peraturan daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pasal 77-84, tarif maksimal PBB adalah 3% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa NJOP dikurangi NJOPTKP yang ditetapkan Kepala Daerah 3 tahun sekali.


sumber:perpajakan indonesia.com/accounting1st

Tidak ada komentar:

Posting Komentar